Skip to main content

Salam Maria Novel Kontroversi?

Sudah baca novel Salam Maria? Saya sudah. Pada mulanya, rasa susah untuk dihadam dan mengundang kantuk. Terlena. Kemudiannya hari kedua, ada tarikan untuk terus menerus membacanya.Terutama apabila Maria Zaitun memulakan kehidupannya di Hutan Beringin. Ini bukan bacaan santai.


Saya tidak menyangka novel ini agak tebal. 653 halaman. Permulaan yang kurang menyenangkan apabila ralat menyambut tatkala halaman pertama mula dibuka. Banyak juga. Sepanjang membacanya, saya perasaan masih terdapat beberapa kesilapan lain. Kesilapan yang tidak patut, saya kira.


Novel karangan Dr Fatimah Busu ini pernah menjadi kontroversi. Kiranya yang paling menyakitkan, adalah apabila segala hasil titik peluhnya ini tidak dibayar walau sesen pun. Penerbitnya hilang tanpa jejak. Oh! Sampainya hati. Sedih, sedih, sedih.

Novel ini juga telah mendapat perhatian Prof Dr Ungku Maimunah Mohd Tahir yang menyandang gelaran Tokoh Bandingan Sastera 2004. Perhatian ini juga telah membuatkan Dr Fatimah Busu menghasilkan Nyanyi Sunyi Salam Maria vs Sarjana Nasi Dingin. Oh, apa lagi cari, cari, baca, baca. Bukan mudah sebenarnya untuk mendapatkannya di kedai-kedai buku. Sudah beberapa kali saya mencarinya. Walaupun tergolong dalam buku cetakan baru. Analisa novel Salam Maria  terkandung di dalam bahagian ke dua Salam Maria  daripada Prespektif Persuratan Baru iaitu buku Prof Dr Ungku Maimunah yang berjudul Gagasan Persuratan Baru. Tentu menarik. Alangkah bagusnya sekiranya masih menuntut, tentu buku-buku ini ada dalam koleksi perpustakaan universiti. Tak perlu beli!

Saya juga membaca kritikan daripada http://pbaru.blogspot.com/. Juga tidak ketinggalan tulisan  Kalthum  Ibrahim yang berjudul Maria Zaitun Dalam Salam Maria Lambang Wanita Mukmin Masa Kini,  saya sertakan linknya www.ukm.my/ppbl/Gema/.../Vol_6_2_2006.pdf . Sebagaimana dikatakan Maria Zaitun iaitu watak utama dalam Salam Maria adalah figur Maria Zaitun dalam puisi WS Rendra, Nyanyian Angsa, di sini disertakan juga puisinya. Terpulang kepada anda menilainya.
  
Puisi Nyanyian Angsa - W S Rendra
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).

Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air k
(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.ali.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.

Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)
      

Comments

  1. Salam. Saya minat hendak memiliki buku salam maria. Mana saya boleh beli yea

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam. Terima kasih kerana singgah. Saya beli secara online dari Ujana Ilmu milik penulis Nisah Haron dan suami. Tapi saya tak pasti masih ada lagi ke tidak.

      Delete
    2. Salam Puan Syidah. Kalau tak keberatan, boleh tak jual pd saya buku salam maria tu... Susah juga nak jumpa....

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Benih Yang Baik Jatuh ke Laut Menjadi Pulau

Benih yang baik, kalau di campak ke darat menjadi gunung  dan kalau di campak ke laut menjadi pulau Maksudnya, yang baik tetap akan baik sekalipun di mana pun ia berada. Pertama kali mendengarnya ketika berumur sekitar 11 atau 12 tahun. Guru besar ketika itu, Cikgu Abdul Latif yang menerangkan mengenainya. "Terima kasih Cikgu". Itu juga yang dikarang dalam ucapan penghargaan kepada Cikgu Zaki Hasbullah yang bertukar mengajar ke sekolah yang lain. Setelah mengarang panjang di 'muka buku' di sini, saya kira dengan mengungkapkan peribahasa ini sudah cukup untuk menzahirkan terima kasih yang tidak terhingga buatnya.  Gambar kenangan anak bongsu bersama-sama dengan Cikgu Zaki yang memakai kostum adiwira, Superman ketika pendaftaran Tahun 1 di sekolah.  

UK Trip Manchester, Liverpool & Greenwich London Part III: Tinggal Kenangan dan Pengalaman

Apabila anda ada dua orang anak lelaki yang sangat minat dengan sukan bola sepak, apakah lagi keseronakkan, selain daripada menjelajah dari satu stadium ke satu stadium yang lain? Mari sambung cerita jalan-jalan makan angin ke London, Manchester dan Liverpool yang terperam lama. Siri kontroversi kepada keluarga Diraja Britain,  The Crown pun sudah habis ditonton. Terasa memanggil-mangil kenangan semasa di sana. Saya ada dua orang anak lelaki yang sedang membesar. Kedua-duanya adalah peminat Pasukan  Barcelona . Namun sangat teruja apabila mengetahui trip kali ini kami akan menjelajah dari satu stadium ke stadium yang lain. Sejak menjejaki kaki ke London, asyik bertanya,  Bila nak pergi stadium? Hari apa nak pergi Manchester? Hari ke 7 (2 Disember 2019) Pagi-pagi lagi sebaik kedai dobi dibuka, kami terus pergi untuk mengeringkan pakaian. Seluar jeans sebenarnya. Memang betul, tips yang kebanyakkan orang beritahu iaitu dalam musim sejuk kita tak perlu bawa pakaian banyak ke

Simbolik Perpisahan: Hadiah Sepasang Kasut

Sepasang kasut simbol perpisahan. Ada segelintir yang berpendapat, menghadiahkan sepasang kasut bagi pasangan yang berkasih, memberi petanda perhubungan itu tidak akan kekal lama. Dalam erti kata lain, sang kekasih akan melangkah pergi. Simbolik ini, digunakan oleh penulis dalam menzahirkan hubungan cinta yang tak kesampaian antara keduanya. Lee Bang Won dan Boon Yi bertemu sejak dari kecil, kemudian terpisah. Setelah dewasa, mereka bertemu kembali tanpa keduanya menyedari mereka pernah punya kenangan ketika kecil ( episod 1 dan 2 ). Hal itu cuma disedari Boon Yi ketika Lee Bang Won 'menjadikannya tawanan', dengan mulut, kaki dan tangan diikat, Lee Bang Won menjelaskan kewajaran tindakannya dengan meluahkan apa yang terbuku di hati termasuk pengalaman yang pernah ditempuh bersama Boon Yi, ketika masih kecil. Boon Yi yang cuma mampu mendengar, menyimpan rahsia itu sendirian. ( episod 8 ) Boon Yi petani miskin. Ibunya telah lama menghilang. Malah beliau bertemu Lee Bang